Sembilan
Syarat Tawaf yang Harus Dipenuhi :
Tawaf
(thawaf) secara bahasa adalah berputar, sedangkan secara istilah adalah
berputar mengelilingi Ka’bah. Tawaf ada lima macam. Pertama, tawaf ifadlah.
Kedua, tawaf qudum. Ketiga, tawaf wada’. Keempat, tawaf sunnah. Kelima, tawaf
umrah.
Tawaf
ifadlah termasuk bagian dari rukun-rukun haji, andaikan ditinggalkan, hajinya
tidak sah, tidak bisa diganti dengan denda (dam). Demikian pula dengan tawaf
umrah, termasuk dari rukunnya ibadah umrah yang apabila ditinggalkan
berkonsekuensi sama dengan tawaf ifadlah.
Tawaf
qudum hukumnya sunnah, dilakukan saat seseorang memasuki kota Makkah. Sedangkan
tawaf wada’ termasuk dari kewajiban-kewajiban haji, andaikan ditinggalkan, maka
berdosa dan wajib diganti dengan denda (dam), namun tidak sampai menyebabkan
rusaknya haji.
Sedangkan
tawaf sunnah merupakan ibadah yang dianjurkan bagi setiap orang yang masuk
Masjidil Haram sebagai bentuk penghoramatan kepada Masjidil Haram. Sebagaimana
tawaf qudum, tawaf ini tidak wajib, andaikan ditinggalkan tidak berdampak
rusaknya haji, tidak pula berkonsekuensi kewajiban membayar dam.
Dalam
pelaksanaannya, tawaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, suci dari
najis dan hadats (kecil maupun besar)
Saat
melakukan tawaf, harus suci dari hadats kecil dan besar. Demikian pula badan,
pakaian dan tempat yang dilalui harus suci dari najis. Bila di tengah tawaf
berhadats atau terkena najis, maka harus bersuci dan menghilangkan najisnya
terlebih dahulu, kemudian melanjutkan putaran dari tempat ia mulai berhadats
atau terkena najis. Dan lebih utama untuk mengulangi tawaf dari awal.
Kedua, menutup aurat.
Orang
tawaf auratnya harus tertutup, bila di tengah putaran tawaf, auratnya terbuka,
maka wajib untuk segera ditutup dan melanjutkan putaran tawaf dari titik saat
auratnya terbuka. Bagi orang yang tidak mampu menutup aurat, boleh untuk tawaf
dengan membuka auratnya dan tidak wajib mengulangi.
Ketiga, memulai tawaf
dari hajar aswad
Start
awal tawaf terhitung dari hajar aswad, sehingga tidak dianggap putaran tawaf
yang sah jika memulai sebelum sampai hajar aswad, setelah sampai hajar aswad,
putaran tawaf baru dianggap sah.
Keempat, menyejajarkan
pundak kiri dengan hajar aswad di awal dan akhir putaran.
Memulai
tawaf wajib dengan cara menyejajarkan pundak kiri dengan hajar aswad, tidak
diperbolehkan saat memuali putaran tawaf, bagian dari pundak kiri lebih maju
dari posisi hajar aswad. Demikian pula saat mengakhiri putaran tawaf, pundak
kiri disejajarkan dengan hajar aswad sebagaimana saat memulai putaran tawaf
atau lebih maju sedikit hingga sampai arah pintu Ka’bah, agar seluruh bagian
Ka’bah secara yakin tawaf merata di seluruh bagian Ka’bah.
Kelima, menjadikan
Ka’bah di sebelah kiri
Seseorang
harus selalu memastikan bahwa Ka’bah berada di sebelah kirinya di setiap
langkah tawafnya, sehingga jika di tengah putaran tidak sesuai posisi tersebut,
wajib segera ke posisi yang benar dan melanjutkan hitungan putaran tawaf dari
tempat tersebut.
Keenam, semua anggota
badan dan pakaian berada di luar bangunan Ka’bah, Syadzarwan dan Hijr Isma’il.
Saat
tawaf, semua anggota badan dan pakaian orang yang tawaf, harus berada di luar
bangunan-bangunan tersebut. Apabila di pertengahan putaran tawaf anggota badan
berada di dalam kawasan-kawasan tersebut, maka tidak dihitung putaran tawaf, ia
wajib segera berada di posisi yang benar dan melanjutkan jumlah putaran tawafnya.
Ketujuh, tawaf sebanyak
tujuh kali putaran
Tawaf
harus dilakukan secara yakin sebanyak tujuh kali putaran, jika ragu-ragu, maka
mengambil bilangan yang paling sedikit untuk selanjutnya menambah jumlah
putarannya, sebagaimana keraguan dalam rakaat shalat. Keraguan yang timbul
setelah selesai tawaf, tidak berpengaruh dalam keabsahan tawaf.
Kedelapan, tidak
bertujuan selain tawaf saat berputar
Di
sepanjang langkah putaran tawaf, tidak boleh ada tujuan lain yang mengalihkan
dari tujuan tawaf, seperti berjalan dengan cepat untuk menghindari persentuhan
dengan lawan jenis, menghindari penagih hutang dan semacamnya, maka tidak sah.
Kesembilan, berada di
dalam Masjidil Haram
Posisi
orang yang tawaf tidak boleh keluar dari bagian Masjidil Haram, meski terdapat
perluasan masjid, hukumnya tetap sah melaksanakan tawaf di dalamnya asalkan
masih termasuk bagian dari Masjidil Haram. Sebagian ulama menyaratkan juga
tidak boleh keluar dari tanah haram saat tawaf, namun menurut Sebagian yang
lain, di antaranya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami tetap sah meski dilakukan di
luar tanah haram asalkan masih berada di kawasan Masjidil Haram.
Bagi
orang yang sedang berihram, tidak disyaratkan niat dalam pelaksanaan tawaf,
karena sudah tercakup dalam niat ihram haji/ umrah, hukum niat tawaf adalah
sunnah. Sedangkan untuk orang yang tidak sedang berihram, maka disyaratkan niat
tawaf saat memulai putaran tawaf. (M. Mubasysyarum Bih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar